popular post

Get this widget!

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Sabtu, 02 Juli 2011

PENINGGALAN DAN BANGUNAN AGAMA HINDU DI BALI

Di Bali banyak ditemukan pura. Sebelum gempa bumi tahun 1917 tercatat jumlah pura sebanyak 10.000 buah. Menurut karakternya, pura-pura itu dapat dikelompokkan menjadi :
PURA KELUARGA
Pura ini didirikan oleh sekelompok keluarga tertentu yang mempunyai hubungan darah sama (genealogis). Pada tiap-tiap rumah tangga terdapat pura keluarga yang disebut Sanggah atau Pemerajan. Bila keluarga itu bertambah besar dan meluas kemudian mereka mendirikan pura keluarga yang disebut Dadya, Paibon atau Panti. Sedangkan untuk menunjukkan bahwa mereka merupakan satu clan atau satu gotra dibuatkanlah sebuah pura yang disebut pura Kawitan. Yang disembah di pura keluarga ialah Tuhan Yang Maha Esa dan Dewapitara (ancestor).

PURA DESA
Pura ini terdapat pada masing-masing desa adat. Tiap-tiap desa adat di daerah Bali terdapat pura Puseh, Pura Desa, atau disebut Pura Bale Agung dan Pura Dalem. Ketiga buah pura itu disebut Kahyangan Tiga. Pada Pura Kahyangan Tiga ini yang disembah ialah Tuhan dalam wujud Trimurti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa.

PURA BERSIFAT UMUM
Yang dimaksud dengan pura yang bersifat umum ialah pura-pura yang disungsung oleh jagad dan merupakan tempat penyembahan inti bagi umat Hindu. Pada zaman kerajaan-kerajaan di Bali, khusunya sesudah zaman majapahit, rupa-rupanya masing-masing Kerajaan di daerah Bali membuat pura Sad Kahyangannya masing-masing meskipun masih menganggap Sad Kahyangan Jagad, tetap merupakan pura inti. Pura ini didirikan oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kepentingan sama. Misalnya untuk kepentingan bersama dalam bidang pengairan, mereka mendirikan pura di sawah yang disebut pura subak atau Ulun Carik, Ulun Danu.
Pengelompokan pura diatas lebih mudah dipahami sejak zaman kerajaan Samplangan, Gelgel dan Klungkung atau setidak-tidaknya pada masa Bali Pertengahan abad 14-19. Sebaliknya pada masa Bali kuno abad 8-14 keadaannya masih gelap.
Hal ini disebabkan antara lain :
• Bahan-bahan bangunan suci itu dibuat dari bahan yang tidak tahan panas dan dingin seperti kayu, bambu dll. Sehingga hanya mampu bertahan dalam beberapa abad saja dan selanjutnya musnah dimakan waktu.
• Keadaan geografis pulau Bali yang cukup labil sehingga sering terjadi gempa bumi seperti pernah terjadi tahun 1917.
• Daerah pegunungan terletak di tengah-tengah pulau Bali, yang secara tidak langsung membelah pulau Bali menjadi bagian utara dan bagian selatan. Keadaan geografis ini secara kosmos mempunyai arti penting, dimana kaja (utara) menurut Bali utara sama dengan kelod (selatan) menurut Bali selatan sedangkan kaja (utara) menurut Bali selatan sama dengan delod (selatan) menurut Bali utara.
Dari pengelompokan pura yang disebut Kahyangan tiga (pura puseh, Pura Desa/Bale Agung dan Pura Dalem), mengingatkan kepada adanya candi sebagai bangunan pemujaan leluhur (uncestor) dan candi Penataran di Jawa Timur sebagai tempat melakukan upacara bersama, antara keluarga dan kerabat Sang Raja dengan rakyat. Yang disembah pada kedua macam bangunan suci itu ialah roh suci leluhur yang telah disucikan dan disebutb Bhatara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Pada waktu pemerintahan raja Anak Wungsu sering disebut tempat-tempat suci yang penting, antara lain ialah:
Bhatara ring Antakunjarapada
Nama ini tersebut didalam prasasti Dawan 1053 M yang menyinggung tentang karaman (desa) Lutungan. Mengenai nama bangunan suci Antakunjarapada Dr. Goris (1957 : 29) berpendapat bahwa yang dimaksud Gua Gajah karena kunjara berarti gajah.
Bhatara Mandul di Sukhawana
Disebut dalam prasasti Dausa 1061 M. Sekarang di Pura Tegeh Koripan (gunung Penulisan) masih terdapat sebuah arca batu bertulis huruf Kadiri kwadrat yang mirip dengan tulisan di komplek candi Gunung Kawi. Tulisan ini terdapat di bagian belakang arca. Pengamatan dengan seksama menunjukkan bahwa tulisan itu harus di baca Bhatari Mandul bukan Bhatara mandul. Dengan demikian timbul pertanyaan dimana arca yang menggambarkan suaminya Bhatara Mandul. Ataukah yang dimaksud dengan Bhatara didalam prasasti seharusnya dibaca Bhatari mandul yang masih ada hingga sekarang? Mengenai desa Sukhawana sampai sekarang masih tetap bernama demikian dan terletak tepat di bawah gunung Panulisan.
Bhatara Bukit Humintang
Seperti halnya dengan Bhatara Mandul nama Bhatara Bukit Humintang ini dapat kita jumpai di dalam prasasti Dausa tersebut diatas. Lokasi bangunannya belum jelas diketahui. Mungkin di sekitar Dausa dan Sukhawana.
Bhatara ing Air Kanakantaralaya
Disebut di dalam prasasti Bwahan 1077 M. Lokasinya belum jelas diketahui sebab desa yang bernama Bwah atau Bwahan terdapat di kabupaten Bangli, diselatan Danau Batur, di kabupaten Gianyar dan di kabupaten Tabanan.
Candi Gunung Kawi
Merupakan kompleks candi padas terletak di pinggir sungai Pakerisan atau disebelah selatan Tampaksiring. Pada masa pemerintahan raja Marakata kompleks itu dinamakan Sanghyang Katyagan ing pakerisan Mengaran Amarawati sebagai disebut dalam prasasti Tengkulak.
Selain tempat-tempat yang masih dapat diketahui dibawah ini akan disebutkan nama-nama tempat suci yang sering dihubungkan dengan tempat pemakaman seorang raja atau yang diduga tempat pemakaman baginda setelah diupacarakan, misalnya :
1. Raja Ugrasena, sang lumah ri Banu-madatu
2. Gunapriyadharmmapatni (Mahendradatta) bhatari lumah i Burwan
3. Raja Udayana, bhatara lumah i Banu-wka
4. Marakata, bhatara lumah ing Camara
5. Anak Wungsu, haji lumah ing Jalu
6. Jayapangus, bhatara lumah i Dharmahanar.

read more

TOKOH – TOKOH SUCI DALAM PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI

Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali.
Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.

MPU SANGKULPUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual. Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi
Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuno antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgelc.
Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :o Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidango Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeruo Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali AgaDalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.
Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha.Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:ØPura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)ØPura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa ØPura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi WasaKetiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”.
Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).


MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.

MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.

DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana. Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya :
1. Pura Purancak,
2. Pura Rambut siwi,
3. Pura Pakendungan,
4. Pura Hulu watu,
5. Pura Bukit Gong,
6. Pura Bukit Payung,
7. Pura Sakenan,
8. Pura Air Jeruk,
9. Pura Tugu,
10. Pura Tengkulak,
11. Pura Gowa Lawah,
12. Pura Ponjok Batu,
13. Pura Suranadi (Lombok),
14. Pura Pangajengan,
15. Pura Masceti,
16. Pura Peti Tenget,
17. PuraAmertasari,
18. Pura Melanting,
19. Pura Pulaki,
20. Pura Bukcabe,
21. Pura Dalem Gandamayu,
22. Pura Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.

read more

HUBUNGAN PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DENGAN BUDAYA DI BALI

Bila kita melihat bermacam-macam kebudayaan daerah yang terdapat di Indonesia, maka nampak jelas perbedaan antara budaya atau kebudayaan Bali dengan budaya dan kebudayaan daerah lainnya. Populernya Bali di seluruh penjuru dunia adalah karena kebudayaannya yang luhur dan indah itu, tentu pula di samping potensi alamnya tempat budaya Bali tumbuh dan berkembang. Bagi pengamat sepintas, sulit pula membedakan antara agama Hindu dan budaya Bali, oleh karena itu sering terjadi identifikasi bahwa agama Hindu sama dengan kebudayaan Bali. Kerancuan ini perlu dijelaskan, bahwa kedudukan agama Hindu dalam hubungannya dengan budaya Bali adalah merupakan jiwa dan nafas hidup dari budaya danm kebudayaan ini.

Agama Hindu dapat disebut sebagai isi, nafas dan dan jiwa dari budaya Bali sebagai ekspresi atau gerak aktivitasnya. Agama Hindu sesuai dengan sifat ajarannya senantiasa mendukung dan mengembangkan budaya setempat. Agama Hindu ibarat aliran sungai, kemana sungai mengalir, di sanalah lembah disuburkan. Budaya dapat pula dibandingkan sebagai wadah dan agama sebagai air. Warna dan bentuk wadah menentukan warna dan bentuk air di dalam wadah itu. Demikianlah hubungannya agama Hindu dengan budaya atau kebudayaan Bali. Perbedaan budaya tidak akan menimbulkan perbedaan dalam pengamalan ajaran agama oleh umatnya, karena agama Hindu di manapun dianut oleh pemeluknya, ajarannya selalu sama, universal dan bersifat abadi.
Dalam hubungannya dengan kebudayaan Bali, agama Hindu yang merupakan jiwa, inti atau fokus budaya itu memancar pada :
(1). Pandangan hidup masyarakat Bali
(2). Seni Budaya Bali
(3). Adat - Istiadat dan hukum adat yang merupakan pangejawantahan dari hukum Hindu
(4). Organisasi sosial kemasyarakatan tradisional seperti desa Adat, Subak dan lain-lain.
Jalinan dari berbagai aspek budaya diatas merupakan aspek budaya yang benafaskan ajaran Hindu. Aspek – aspek budaya inilah yang merupakan mosaik kebudayaan Bali dewasa ini.
Sarasamuscaya 260 menyatakan agar ajaran Weda ditradisikan. Proses mentradisikan ajaran Weda ini dinyatakan dengan istilah Wedabyasa. Maksudnya agar ajaran Weda itu diwujudkan menjadi tradisi atau kebiasaan hidup dalam masyarakat. Sarasamuscaya 275 menyatakan dengan istilah "mangabiasa dharmasadhana". Artinya mentradisikan pengamalan Dharma.
Dari pentradisian pengamalan Dharma atau inti ajaran Weda itulah akan terbentuk kebudayaan Weda atau kebudayaan Hindu dalam kehidupan empiris untuk Hindu. Weda sebagai sabda Tuhan yang supra empiris itu tentunya akan berbeda dalam kehidupan kebudayaan Hindu yang empiris. Artinya, idealisme Weda akan mengalami lebih dan kurang dalam realita kehidupan penganut Weda.
Dalam Manawa Dharmasastra VII.10 ada dinyatakan bahwa untuk mensukseskan pengamalan Dharma (agama Hindu), hendaknya diterapkan berdasarkan lima pertimbangan yakni Iksha (pandangan masyarakat penganut Weda), Sakti (kemampuan), Desa (aturan rokhani yang sudah ada), Kala (waktu) dan Tattwa (kebenaran Weda).
Maksud sloka Manawa Dharmasastra tersebut adalah memberikan konsep untuk mensukseskan tujuan Dharma (agama Hindu). Artinya, penerapan Dharma itu akan sukses jika diterapkan berdasarkan pertimbangan seperti yang dinyatakan dalam Sloka Manawa Dharmasastra. Penerapan Dharma agar sukses jika diterapkan sesuai dengan pandangan masyarakat (Iksha), kemampuan umat (Sakti), aturan rokhani yang sudah berlaku (Desa),dan disesuaikan dengan waktu (Kala).
Yang penting tidak bertentangan dengan kebenaran Weda itu sendiri (Tattwa). Ini artinya Tattwa kebenaran itu harus diterapkan dengan disesuaikan dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Tujuannya sebagai media mengkemas pengamalan Tattwa.
Demikianlah halnya dengan kebudayaan Bali sebagai wujud penerapan Tattwa agama Hindu yang didasarkan pada pertimbangan keberadaan Iksha, Sakti, Desa dan Kala-nya daerah Bali. Dengan kata lain, kebudayaan Bali itu sebagai badan wadagnya agama Hindu. Sedangkan Tattwa atau kebenaran Weda itu sebagai jiwanya agama Hindu di Bali.
IB Gunadha juga mengutarakan , seiring dengan perjalanan waktu, Hindu di Bali demikian juga Hindu di India sudah mengalami perubahan, terkait dengan dinamika masyarakatnya. ''Ibarat bola karet. Ke mana ia menggelinding, akan dibalut oleh hal-hal yang terdekat. Demikian juga Weda, ke mana ajaran ini berkembang ia akan dibalut pula oleh budaya setempat,'' kata dosen sejarah Faksas Unud ini.
Secara teoretis, manusia mengembangkan kebudayaan selalu terikat pada waktu dan ruang, sehingga dikenal dengan Hindu Bali -- esensinya Hindu tetapi kulitnya dibungkus budaya Bali, di Jawa ada Hindu Jawa. ''Ini yang mesti dipahami. Agama lahir bukan jatuh dari langit, tetapi melalui perkembangan sesuai dengan ruang dan waktu. Dengan demikian budaya Hindu di Bali sangat berbeda dengan Hindu di Jawa,'' ujar Guru Besar FS Unud ini.
Ketika agama Hindu berkembang di Majapahit, sesungguhnya pada saat yang bersamaan di Bali sudah berkembang pengaruh Hindu, terbukti ditemukan prasasti Blanjong dan stupika di Goa Gajah. Hal itu terjadi pada Dinasti Warmadewa. ''Tidak bisa memurnikan agama 100 persen, karena sudah bercampur dengan budaya dan adat-istiadat,'' kata Putra Agung seraya menambahkan, kita terima hal ini apa adanya dan lestarikan. Hal ini penting karena menyangkut identitas umat Hindu di Bali.
Di Bali karena kreasinya demikian tinggi, jadilah Hindu Bali yang marak dengan upakara. Di Jawa, karena terbatas kreativitasnya, lebih mengutamanakan pada jnana. Sedangkan Hindu di Kalimantan lebih pada wujud pembangkitan kekuatan magis. Di situ justru konsep Tantris dan Bairawa yang lebih menonjol. ''Tetapi terkadang mereka yang tidak paham dengan konsep ini, mengatakan itu bukan Hindu,'' katanya.
Ketika ada wacana kembali ke Weda (back to Weda) dan ke India, kata Gunadha, muncul pertanyaan mesti kembali ke mana? Di India sendiri, umat tetap pada sekte atau aliran-aliran itu. Weda memang diakui oleh penganut sekte-sekte itu, tetapi pelaksanaannya tergantung mazabnya sendiri-sendiri.
Di samping itu, berdasarkan sejarah, agama Hindu di India telah mengalami perkembangan berkali-kali. Sementara Hindu di Bali belum pernah mengalami perubahan. Kalau kembali ke India, India yang mana?
Sementara itu Prof. Dr. Yudha Triguna, M.S. mengatakan, back to Weda, sebuah sikap formalisme agama. Artinya, mereka menganggap apa yang dilakukan masyarakat Hindu Bali selama ini seolah-olah bukan sebuah cermin dari agama Weda. Padahal sesungguhnya agama Hindu Bali yang dilaksanakan masyarakat Bali jauh lebih tua daripada formalisme Weda itu sendiri. ''Dengan demikian, kita mestinya tak buru-buru mengatakan back to Weda. Karena sesungguhnya masyarakat Bali sudah melaksanakan intisari yang tersirat dalam Weda itu sendiri,'' ujar Guru Besar Unhi yang juga Direktur Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi ini.
Sejarawan Prof. Dr. AA Putra Agung mengatakan, berdasarkan sejarah, Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan terjadi pada abad ke-4, dengan ditemukannya prasasti Kutai di Kalimantan. Namun, sebelum Hindu masuk ke Indonesia, sesungguhnya masyarakat sudah memiliki kepercayaan terhadap nenek moyang. Terbukti dari data prasejarah, ditemukan bekal kubur. Benda-benda itu dikubur bersamaan dengan mayat almarhum. Ini terkait dengan kepercayaan bahwa di alam lain masih ada kehidupan.
AA Putra Agung mengatakan, sesungguhnya manusia sangat tergantung dengan alam, dan percaya alam memiliki kekuatan. Terbukti, di sejumlah negara muncul kepercayaan terhadap alam. Misalnya di Mesir dan Jepang ada kepercayaan terhadap Dewa Matahari. Sementara dalam masyarakat Hindu sendiri dikenal Dewa Bayu (dewa angin), Dewa Wisnu (dewa air), Dewa Brahma (dewa api), Dewa Surya (dewa matahari), Dewa Baruna (dewa laut), dll.

read more

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI

Di Bali sejarah dan perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tangah dan Jawa Timur. Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu agama Hindu (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi.Bukti lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Di samping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi bernama Markandeya. Maharsi Markandeya datang ke pulau Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian . Daerah yang dituju pada mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah menuju arah Barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maharsi Markandeya ini yang mengajarkan agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Titiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada.
Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati I Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Pada saat Senapati I Kuturan dijabat oleh Mpu Rajakerta (kini lebih populer disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.
Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di bawah hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit ditransfer ke Bali bahkan di dalam kitab Nagarakrtagama disebutkan “Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa”, yang menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem Batrurenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang Nirartha (Dwijendra) sangat berperanan. Saat itu kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang dominan, di samping diakui pula eksistensi Buddhisme (dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya Mpu Mustika) yang hingga kini, walaupun disebut sebagai agama Hindu atau agama Hindu Dharma, unsur-unsur ketiga sekta tersebut masih dapat diamati.
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja, Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun 1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Februari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 November tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali , yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa kehidupan agama Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma yang universal sejak awalnya tetap dipertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta lingkungannya.

read more
Sabtu, 18 Juni 2011

selamat datang

selamat datang di blog baru saya.

read more

translate

English French German Spain

Italian Dutch Russian Brazil

Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google