popular post

Get this widget!

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Sabtu, 02 Juli 2011
Home » SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI

Di Bali sejarah dan perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tangah dan Jawa Timur. Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu agama Hindu (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi.Bukti lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Di samping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi bernama Markandeya. Maharsi Markandeya datang ke pulau Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian . Daerah yang dituju pada mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah menuju arah Barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maharsi Markandeya ini yang mengajarkan agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Titiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada.
Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati I Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Pada saat Senapati I Kuturan dijabat oleh Mpu Rajakerta (kini lebih populer disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.
Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di bawah hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit ditransfer ke Bali bahkan di dalam kitab Nagarakrtagama disebutkan “Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa”, yang menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem Batrurenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang Nirartha (Dwijendra) sangat berperanan. Saat itu kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang dominan, di samping diakui pula eksistensi Buddhisme (dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya Mpu Mustika) yang hingga kini, walaupun disebut sebagai agama Hindu atau agama Hindu Dharma, unsur-unsur ketiga sekta tersebut masih dapat diamati.
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja, Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun 1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Februari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 November tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali , yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa kehidupan agama Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma yang universal sejak awalnya tetap dipertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta lingkungannya.

0 komentar:

translate

English French German Spain

Italian Dutch Russian Brazil

Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google